Individu
yang aktif melakukan sesuatu pasti ada yang mendasarinya, dan individu
yang tidak mau melakukan pasti ada alasanya. Seperti dikatakan oleh
McCown dkk. (1996) salah satu aspek orang melakukan sesuatu adalah
adanya alasan mengapa ia melakukanya. Dorongan yang ada pada diri
seseorang untuk melakukan sesuatu disebut motif. Ada beberapa istilah
lain yang sering ditukar dan tidak konsisten dalam pemakaianya yaitu motive, drive, dan needs (Edwards
dan Scannell, 1969). Disini peneliti menggunakan istilah motif. Hersey
dan Blanchard (1997) mengatakan motif adalah kebutuhan, keinginan,
dorongan, atau impuls. Tidak jauh berbeda dari pengertian di atas adalah
yang dikatakan oleh Gerungan (1966) bahwa motif adalah meliputi semua
penggerak (keinginan, dorongan, hasrat, alasan) dalam diri seseorang
yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Pendapat yang lain dikemukakan oleh
Sorenson (1977) bahwa motif adalah fikiran (thought) atau perasaan (feeling)
yang bekerja sebagai suatu drive dengan kekuatan besar untuk mendorong
seseorang melakukan suatu tindakan tertentu dan bukan tindakan yang
lainya pada suatu saat tertentu. Ahli lain, yait Grinder (1978)
mengatakan motif adalah drive dari dalam diri individu yang menimbulkan, mempertahankan, dan mengarahkan perilkau ke arah tujuan.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motif ialah
faktor internal yang ada dalam diri individu, yang merupakan
kesiapsiagaan untuk melakukan suatu aktivitas guna mencapai suatu
tujuan. Kesiapsiagaan tersebut bisa muncul oleh stimulasi internal
maupun eksternal.
Menurut Chauhan (1978) motif dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
- physiological motives, yaitu motif-motif yang esensial bagi kelangsungan hidup organisme.
- social motives,
yaitu motif yang dasarnya dari motif fisiologik kemudian muncul dan
berkembang secara gradual sejala dengan pertambahan usia individu
melalui interaksinya dengan lingkungan sosial, dan
- personal motives,
yaitu motif khusus yang bersifat individual sesuai dngan struktur
kepribadian masing-masing individu. Mengikuti pendapat Chauhan di atas,
maka tindakan individu untuk mencapai tujuan tertentu dapat didasari
oleh alasan-alasan fisiologik, sosial, dan personal.
Motif
dan motivasi merupakan istilah yang mirip atau sama, keduanya suatu
faktor utama yang mempengaruhi dan merupakan kekuatan yang menyebabkan
individu bertingkah laku (McClelland, 1987). Motivasi merupakan bentuk
aktual, sedangkan motif lebih merupakan bentuk potensial (Heckhausen,
1968).
Hersey
dan Blanchard (1977) mengatakan bahwa motivasi adalah kemauan untuk
berbuat sesuatu. Apabila motif menjdi aktif maka muncul gerakan
melakukan aktivitas mencapai tujuan sesuai dengan motifnya. Aktivitas
mencapai suatu tujuan berdasar motifnya inilah yang disebut motivasi.
Ada beberapa perngertian tentang motivasi, yang satu dengan yang lainnya
secara substansial tidak berbeda, dan oleh karenaya perbedaan yang ada
harus dipandang sebagai suatu yang positif, yaitu untuk menambah
pemahaman tentang hakekat arti motivasi.
Menurut
Bernard (dalam Chauhan, 1978) motivasi menunjuk pada semua fenomena
yang ada dalam stimulasi terhadap suatu aktivitas tertentu untuk
mencapai suatu tujuan yang sebelumnya tidak ada atay sedikit aktivitas
yang engarah pada pencapaian tujuan tersebut. Ahli lain, yaitu Atkinson
(dalam Chauhan, 1978), mengatakan bahwa motivasi adalah pemunculan
kecendrungan berbuat untuk menghasilkan satu atau lebih efek. Sedangkan
Chauhan (1978) mengartikan motivasi sebagai suatu proses pemunculan
gerakan dalam organisme. Gerakan tersebut dihasilkan dan siatur melalui
pelepasan energi. Menurut Sorenson (1977) motivasi pada dasarnya
tergantung pada need dan drives individu, yang
mengahsilkan keinginan untuk berbuat. McCown, dkk. (1996) mengartikan
motivasi sebagai suatu disposisi individu uang dicirikan oleh keinginan
utnuk memulai melakukan sesuatu, melanjutkan keterlibatanya dalam
neraktivitas, dan memiliki komitmen dalam periode periode waktu yang
realtif lama. Seperti juga dikatakan Chauhan (1978) bahwa seseorang yang
melakukan aktivitas berdasar motivitasi, memiliki ciri-ciri perilaku
selektif, good oriented, dan persisten (jangka lama).
Slavin
(1991) mengatakan bahwa motivasi memiliki intensitas dan arah, yang
oleh Gage dan Berliner (dalam Slavin, 1991) intensitas motivasi
dianalogikan sebagai mesin mobil dan arah motivasi dianalogikan sebagai
kemudinya. Motif akan berubah menjadi motivasi apabila ada stimulasi,
jika sumber stimulasinya berasal dari dalam diri individu maka
motivasinya disebut motivasi intrinsik. Seperti dikemukakan oleh McCown
dkk. (1996) motivasi intrinsik terjadi apabila individu melakukan
aktivitas karena alasan-alsan internal, seperti kepuasan atau kesenangan
dalam beraktivitas. Kepuasan dalam melakukan hal yang baru, rasa ingin
tahu, atau memiliki minat pada objek, sedangkan motivasi ekstrinsik
terjadi apabila individu melakukan sesuatu karena alasan-alasan
eksternal. Seperti untuk memperoleh credit points, agar mendapat pujian, dan sebagainya.
Kekuatan
motivasi seseorang tidak tergantung pada stimulasi internal atau
eksternal, tapi yang pasti persistensi motivasi ekstrinsik. Seperti
dikemukakan oleh McCown dkk. (1996) intrinsik atau ekstrinsik motivasi
seseorang akan membaw konsekunsi yang berbeda bagi kesinambungan
motivasi tersebut. Seseorang yang melakukan sesuatu dengan motivasi
intrinsik akan dapat lebih lama bertahan dan terlibat dalam aktivitas
tersebut, serta lebih memiliki komitmen terhadap aktivitas tersebut dari
pada orang yang motivasinya ekstrinsik. Orang yang motivasinya
ekstrinsik akan segera menghentikan kegiatanya apabila sumber motivasi
yang berasal dari luar dirinya sudah tidak ada.
Beberapa teori motivasi yang secara relatif dapat menjelaskan perilaku motivasi secara lebih rinci adalah Maslow`S Hierarchy Of Needs, Expectancy Theory Of Moivation, Achievement Motivation Theory, Two Factor Theory, dan Theory X And Y dikemukakan pada uraian berikut.
1. Maslow`S Hierarchy Of Needs
Salah
satu teori motivasi terkenal yang mendasarkan diri pada kebutuhan
Manusia adalah yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, yaitu NeedsHierarchy Theory.
Maslow
(dalam Chauhan, 1978) mengemukakan bahwa motivasi seseorang untuk
melakukan sesuatu ditentukan oleh kebutuhan yang paling dominan pada
saat itu. Orientasi perilaku individu terutama adalah
pemenuhan kebutuhan yang paling dominan tersebut. Maslow menggolongkan
kebutuhan manusia menjadi lima kelompok secara hierarkis, mulai dari
kelompok kebutuhan yang paling rendah sampai pada kelompok yang paling
tinggi.
Kelompok kebutuhan pada hirarkhi yang pertama, yaitu kebutuhan-kebutuhan fisiologik (physiological needs) yaitu kebutukan-kebutuhan dasar Manusia agar ia dapa survive,
meliputi kebutuhan `pangan` (makan dan minum), `sandang` (pakaian),
`papan` (runah), dan kebutuhan meneruskan keturunan. Kelompok kebutuhan
kebutuhan rasa aman (safety needs), meliputi kebutuhan rasa
aman dari sakit, rasa aman dari ancaman, aman dalam bekerja, aman
berkeluarga, dsb. Kelompok kebutuhan hirarkhi yang ketiga adalah
kebutuhan sosial (elongingness and law needs), yaitu kebutuhan
akan hubungan yang bermakna dengan orang lain, yang meliputi kebutuhan
utnuk berinteraksi dan berafiliasi dengan orang lain, mencintai dan
dicintai, rasa diterima oleh kelompok, rasa memiliki, rasa dibutuhkan
oleh orang lain, dan sejenisnya. Kelompok kebutuhan hirarkhi yang
keempat adalah kebutuhan-kebutuhan akan rasa harga diri atau
kebutuhanuntuk dihargai (esteem needs), yaitu meliputi
penghargaan, pengakuan, pengakuan, status, prestise, kekuasaan, dsb.
Kelompok kebutuhan hirarkhi yang kelima yaitu kebutuhan yang hirarkhinya
paling tinggi adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri (self actualization needs),
yaitu kebutuhan untuk mengekspresikan atau memanifestasikan
potensi-potensi positif secara optimal. Misalnya kalau ia seorang Siswa
maka ia akan mengembangkan semua potensi yang ada untuk memenuhi
tugas-tugas yang diberikan oleh Guru bidang studi.
mengelompokan hirarkhi kebutuhan tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu deficiency needs, growth needs, dan self actualization needs. deficiency needs adalah kebutuhan-kebutuhan dasar yang dibutuhkan manusia bagi kesehatan fisik dan psikisnya, growth needs adalah kebutuhan untuk mengetahui, menilai, dan mengerti sesuatu, dan self actualization needs adalah kebutuhan untuk mengembangkan potensi secar penuh.
Berdasar
hirarkhi kebutuha manusia tersebut, lebih lanjut Maslow (dalam Chauhan,
1978; McCown dkk., 1996)diasumsikan bahwa orientasi peilaku atau
motivasi seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan yang menduduki
prioritas pertama untuk dipenuhi. Kalau kebutuhan akan pangan, sandang,
dan papan untuk dirinya dan keluarganya belum tercukupi, maka
aktivitas-aktivitas yang bermuara pada diperolehnya kebutuhan-kebutuhan
tersebut akan dapat membangkitkan motivasinya, sedangkan kelompok
kebutuhan yang hirarkhinya lebih tinggi menduduki prioritas yang lebih
rendah. Selanjutnya apabila kelompok kebutuhan-kebutuhan fisiologik ini
terpenuhi, maka orientasi perilaku dan motivasinya adalah berdasar pada
pemenuhan kebutuhan yang hirakhinya satu tingkat di atasnya, yaitu
kebutuhan rasa aman, Aman kesehatan dirinya dan keluarganya, aman dari
ancaman terhadap kebutuhan fisiologik yang sudah dimilikinya, dsb. Kalau
kebuituhan rasa aman ini terpenuhi maka perilaku motivasinya
berorientasi pada kebutuhan sosial, dan seterusnya, sampai pada hirakhi
kebutuhan yang paling tinggi, yaitu aktualisasi diri.
2. Expectancy Theory Of Moivation
Edwards dan kemudian Atkinson (dalam Slavin, 1991) mengembangkan teori motivasi yang didasarkan pada formula sebagai berikut:
|
|
Motivasi = Pekiraan sukses x nilai insentifnya kesuksesan
|
|
Formula di atas disebut sebagai Expectancy-Valance Model
karena teori ini sepenuhya tergantung pada harapan-harapan seseorang
terhadap reward (Feather, dalam Slavin, 1991). Apa yang dinyatakan oleh
teori ini adalah bahwa motivasi seseorang utnuk mencapai seuatu
tergantung pada produk atau hasil kali antara estimasi tentang taraf
kemunkinan sukses apabila ia mengerjakan sesuatu itu dengan nilai yang
akan diperoleh atas kesuksesan tersebut (nilai insentif kesuksesan).
Bila seseorang Siswa misalnya, berfikir bahwa ia mampu berkompetisi
dengan siswa yang lainya untuk menulis artikel yang baik, dan sekolah
akan memberi penghargaan terhadap artikel yang baik sementara ia sendiri
menilai penghargaan tersebut merupaka prestise tersendiri bagi siswa di
sekolah, amak ia akan bekerja keras untuk membuat artikel yang baik
(motivasi tinggi).
Satu
aspek penting dari formula di atas adalah bahwa formula tersebut
bersifat multiplikatif (Slavin, 1991), artinya apabila seseorang
memperkirakan bahwa kemungkinan suksesnya tidak ada untuk mengerjakan
sesuatu, sekalipun nilai insentif kesuksesanya tinggi bagi dirinya, maka
motivasi untuk mengerjakannya tidak ada. Demikian pula sebaliknya, jika
seseorang emperkirakan bahwa kemungkinan suksesnya besar akan tetapi
nilai insentif kesuksesanya tidak berarti bagi diriya, maka motivasi
untuk mengerjakanya juga tidak ada.
Atkinson
(dalam Slavin, 1991) menambahkan bahwa apabila seseorang yakin sekali
bahwa ia akan berhasil dalam mengerjakan suatu tugas, hal ini dapat
mengganggu motivasinya, karena ia tidak berusaha dengan kekuatan yang
maksimal. Menurut Davidoff (1980) seseorang ang memiliki kemampuan yang
tinggi dan self efficacy yang tinggi untuk dapat berhasil dalam
mengerjakan sesuatu, tidak akan melakukan perbuatan tersebutapabila
prasarana dan sarana tidak tersedia dan ia tidak melihat adanya
insentif.
3. Achievement Motivation Theory
Menurut McClelland (Slavin, 1991; McCown, dkk. 1996) motivasi berprestasi (Achievement Motivation)
adalah suatu keinginan atau kecendrungan untuk mengatasi hambatan atau
perintang dan menyelesaikan tugas-tugas yang sulit melalui kekuatan
usaha. Motivasi berprestasi dapat memanifestasikan dirinya sebagai suatu
sikap competitive dan willingness Untuk mengambil resiko tertentu.
Perilaku yang beorientasi kepada prestasi (Achievement-Oriented Behaviour) adalah perilaku yang berusaha untuk mencapai standard of excellency.
Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan tertarik pada
pekerjaan yang mengandung tantangan bagi dirinya. Apabila ia memutuskan
untuk mengerjakan sesuatu maka ia mengantisipasi hambatan-hambatan yang
ada, strategi untuk melaksanakan dan mengatasi hambatan-hambatan yang
ada, strategi untuk melaksanakan dan mengatasi hambatan, serta
konsekuensi dari strategi pelaksanaan tersebut. Karena orientasi hasil
kerjanya adalah pada standard of excellency, maka sekalipun ia
menyukai pekerjaan yang menantang ia tidak akan melakukan pekerjaan
tersebut apabila menurut pertimbanganya ia akan gagal. Keberhasilan
dalam menyelesaikan pekerjaan yang menantang merupakan reward yang bersifat intrinsik bagi mereka.
4. Two Factor Theory
Teori
ini sebetulnya lebih merupakan teori yang menjelaskan tentang kepuasan
manusia dalam bekerja. Namun teori ini dapat dipakai untuk menjelaskan
motivasi seseorang, dengan asumsi bahwa kepuasan akan berpengauh positif
terhadap motivasi orang tersebut.
Teori
ini dikemukakan oleh Herzberg ini (dalam Wexley dan Yukl, 1977 dan
Hersey dan Blanchard, 1977), sesuai dengan namanya, terdiri atas dua
faktor yaitu hygiene factors yang meliputi upah, rasa aman, status, kondisi kerja, hubungan kerja, dan sebagainya; dan satisfiers factors
yang meliputi kemungkinan untuk maju dan berkembang, adanya tanggung
jawab, pekerjaan yang menarik, pengakuan atas hasil kerja, dan
sebagainya. Anatara kedua faktor tersebut tidak ada garis kontinum yang
menghubungkanya, hygiene factors terpisah dari satisfiers factors. Artinya, orang yang tidak memiliki rasa tidak puas dalam kerja bukan berarti memiliki rasa puas dalam kerja.
Menurut Herzberg (dalam Wexley dan Yukl, 1977 dan Hersey dan Blanchard, 1977), terpenuhinya factor-faktor dalam hygiene factors
tidak akan menimbulkan kepuasan bagi individu akan tetapi rasa tidak
puas mereka tidak ada. Individu baru merasa puas apabila
faktor-faktoryang termasuk satisfiers factors terpenuhi. Contoh
kongkritnya adalah pemberian nilai yang cukup tidak akan menimbulkan
kepuasan pada individu siswa melainkan rasa tidak puas individu siswa
hilang. Hal ini terjadi karena menurut Herzberg, pemberian nilai bukan
etrmasuk dalam kelompok satisfiers factors, malainkan hygiene factors,
yaitu faktor-faktor yang memang dibutuhkan untuk dapat bekerja secara
sehat. Sebaliknya, apabila individu dalam bekerja dapat mencapai
prestasi tinggi, mendapat pengakuan atas hasil kerjanya, pekerjaan yang
ia lakukan menarik sehingga ia enjoy dalam bekerja, diberi
tanggungjawab, dan ada peluang untuk maju dan berkembang dalam bekerja,
maka individu akan memperoleh kepuasan dalam bekerja, karena
faktor-faktor tersebut merupakan satisfiers factors. Jadi
menurut teori ini pemuas di dalam bekerja bekerja berasal dari individu
dan pekerjaan itu sendiri, dan bukan dari lingkungan fisik.
5. Theory X And Y
Teori
yang dikemukakan oleh Douglass McGregor (dalam Wexley dan Yukl, 1977
dan Hersey dan Blanchard, 1977) ini memandang hakekat Manusia dengan dua
asumsi yang saling berlawanan. Asumsi teori x adalah bahwa pada
dasarnya kebanyakan Manusia malas, tidak senang menerima tanggungjawab,
lebih suka dikontrol dan diawasi dalam bekerja, dan tidak ingin
kebebasan. Mereka akan termotivasi dalam bekerja apabila digunakan
prinsip reward dan punishment dalam organisasi kerja,
dilakukan pengawaan secar ketat atas kerjanya, diberi tugas-tugas yang
jelas dan berstruktur. Berdasar uraian tersebut maka jelas bahwa
individu yang sesuai dengan asumsi teori x ini motivasinya adalah
ekstrinsik.
Asumsi
teori y adalah bahwa pada hakekatnya Manuisa suka bekerja, kontrol
terhadap diri sendiri adalah esensial, kebanyakan orang adalah kreatif
dan self directed. Berdasar uraian di atas maka individu yang karakteristiknya sesuai dengan asumsi teoriy y ini motivasinya adalah intrinsik.
Berdasar
atas teori-teori motivasi yang diuraikan di atas, maka motivasi
individu untuk melakukan sesuatu didasari oleh dorongan untuk memenuhi
kebutuhan yang paling menonjol (Maslow`S Hierarchy Of Needs), diperolehnya faktor-faktor yang menjadi pemuas kerja (Two Factor Theory), karakteristik individu yang bersangkutan (Theory X And Y), adanya tantangan dan reward intrinsik dalam bekerja(Achievement Motivation Theory), dan adanya harapan untuk sukses dan nilai insentif atas kesuksesan, serta tersedianya fasilitas yang diperlukan (Expectancy Theory Of Moivation).
Kalau faktor-faktor yang menimbulkan motivasi kerja tersebut
dikelompokan berdasar elemen-elemen organisasi kerja, maka terdapat tiga
sumber motivasi kerja, yaitu yang berasal dari individu, dari hakekat
pekerjaan itu sendiri, dan dari institusi beserta lingkunganya.
Lebih
spesifik lagi Dollard dan Miller menyimpulkan bahwa sebagaian besar
dorongan sekunder yang dipelajari Manusia, dipelajari melalui belajar
rasa takut atau anxiety. Mereka juga menyimpulkan bahwa untuk bisa belajar individu harus want something (menginginkan sesuatu), notice something (mengenali sesuatu), do something (mengerjakan sesuatu), dan get something (mendapatkan sesuatu).
Hal tersebut di atas yang kemudian diuraikan menjadi empat komponen utama belajar, yakni drive, cue, respon, dan reinforcement. Drive
adalah stimulus dari dalam organisme yang mendorong terjadinya kegiatan
tetapi tidak menentukan bentuk kegiatanya. Kekuatan drives tergantung
kekuatan stimulus yang memunculkanya, semakin kuat drivesnya, semakin
keras usaha yang akan dihasilkanya. Cue adalah stimulus yang
memberi petunjuk perlunya dilakukan respon yang sesungguhnya, jenis dan
kekuatan cue sangat bervariasi, dan variasi reaksi itu menentukan
bagaimana reaksi terhadapnya. Respons adalah aktivitas yang
dilakukan individu, suatu respon dikaitkan dengan suatu stimulus, dan
respon itu harus terjadi terlebih dahulu. Misalnya anak tidak akan mulai
belajar membaca sampai dia nyata-nyata mulai mencoba membaca. Dalam
situasi tetentu, suatu stimulus menimbulka respon-respon yang berurutan,
belajar akan menghilangkan beberapa respon yang tidak perlu, dan akan
diganti dengan resultant hierarchy yang lebih efektif mencapai tujuan yang diharapkan. Reinforcement atau consequence dari tingkah laku, ini juga sering didefinisikan sebagai Drive reduction (pereda dorongan).